Setiap kali melewati Jalan Raya Tulungagung – Campurdarat tepatnya di Desa Pelem Kecamatan Campurdarat hati saya tergelitik melihat jejak air yang menggores tebing tegak di punggung bukit. Tingginya mencapai 200 m dengan lebar penampang bagian tengahnya sekitar 20 m, saat musim hujan seperti sekarang ini jelas sekali kelihatan air dalam debit kecil merembes melewati penampang di cadas pegunungan kidul tersebut. Menurut saya dimasa lalu besar kemungkinan penampang ini adalah sebuah air terjun.
Menurut penduduk setempat sampai sekitar tahun 1970 “air terjun” tersebut masih mengeluakan air, sehingga menjadi sarana penduduk untuk pengairan lahan pertanian dan kebutuhan lainnya. Namun seiring laju deforestasi dan pembukaan lahan untuk pertanian reguler di daerah atas yang menjadi daerah tangkapan air, lambat laun debit air makin mengecil hingga sama sekali habis ketika musim kemarau. Ketika ditelusuri didaerah bekas aliran sungai didaerah hulu ditemukan sumber mata air dibawah rerimbunan pohon, namun debit airnya kecil sehingga tidak sampai membentuk aliran sungai letaknya di Desa Pakisrejo Kecamatan Tanggunggunung.
Terbersit dalam pikiran dan angan angan saya mungkin ketika daerah tangkapan air di bagian atas dilakukan proses rehabilitasi lahan dengan kegiatan reboisasi dan revitalisasi sumber mata air suatu saat entah kapan bisa jadi akan muncul aliran sungai yang jatuh di penampang goresan di punggung bukit tersebut dan akan menjadi air terjun sebenarnya.
Banyak keuntungan yang didapatkan bila benar air terjun itu bisa dimunculkan kembali, selain sudah pasti menjadi obyek wisata baru yang menarik, power dari air yang jatuh bisa dimanfaatkan menjadi pembangkit listrik mikro hidro, dan airnya tentu bisa dimanfaatkan untuk pengairan lahan pertanian dan kebutuhan lainnya.
Postingan di bLog ini sangat menginspirasi banget dan sangat Tulungagung banget,sesekali kayaknya harus ulas tuntas donk tentang budaya Cethenisasi... he,,he,,he,, Salam kenal semua kawan,dengan tukang marmer Tulungagung
ReplyDelete