Monday, 12 December 2011

Gurih Pedas Nasi Ayam Lodho

BILA Anda mempunyai rencana kunjungan ke Jawa Timur dan kebetulan akan melewati Tulungagung, coba sejenak mampir untuk mencicipi nasi ayam lodho. Ini adalah salah satu jenis makanan khas yang menjadi kebanggaan masyarakat Kabupaten Tulungagung.

Nasi ayam lodho adalah makanan yang mempunyai bahan dasar ayam dengan rempah-rempah resapan bumbu bersantan. Jika dilihat dari wujudnya, mungkin sedikit serupa dengan opor atau kare ayam karena sama-sama berjenis masakan bersantan.

Meski terlihat serupa, nasi ayam lodho punya kekuatan cita rasa tersendiri. Selain memakai ayam kampung yang tentunya jauh lebih lezat ketimbang ayam negeri, bumbu-bumbu berupa rempah-rempah asli Indonesia menjadi salah satu faktor penentu yang membuat makanan ini begitu spesial di lidah.

Ciri khas nasi ayam lodho sebenarnya terletak pada citarasa pedas. Meski begitu hanya ada beberapa tempat yang khusus menyediakan menu nasi ayam lodho dengan rasa yang super pedas atau biasa disebut nasi ayam lodho setan.

Selain rasa pedasnya yang menggigit, keistimewaan nasi ayam lodho juga terletak pada racikan bumbu rempah dan santannya. Ayam kampung yang sudah terasa enak kian terasa nikmat dengan resapan bumbu rempah-rempah yang menggoyang lidah.

Biasanya untuk menghasilkan citarasa nasi ayam lodho yang sempurna, daging ayam diolah melalui dua tahap. Pertama, daging direbus dalam rendaman santan kelapa dan racikan berbagai jenis rempah-rempah, antara lain: cabai rawit, daun salam, lengkuas, serai, daun jeruk, garam, bawang putih, bawang merah, kemiri, ketumbar, dan jinten bubuk.

Setelah santan dan bumbu rempah-rempah benar-benar meresap, daging kemudian dibakar atau dipanggang di atas bara api dengan bahan bakar arang, baru kemudian disajikan bersama nasi putih hangat dan urap sebagai menu pelengkapnya.

Untuk menikmati nasi ayam lodho, Anda tidak perlu susah payah mencarinya karena Kabupaten Tulungagung dan wilayah sekitarnya banyak yang menjajakan makanan ini. Yang populer ada di Jalan Dr. Soetomo, Jalan WR Soepratman, Jalan Ki Mangun Sarkoro, Plusukandang, Sukoanyar.

Seporsi nasi ayam lodho dijual dengan harga yang bervariasi sesuai dengan daging ayam yang dikehendaki. Untuk porsi biasa dengan suwiran atau potongan daging ayam harganya Rp7000.

Jika Anda menginginkan dada ayam atau jeroannya, maka harganya naik menjadi sekitar Rp10.000. Harga nasi ayam lodho akan bertambah mahal apabila Anda menghendaki potongan daging ayam yang besar, yakni sampai dengan Rp14.000 per porsinya. Jika anda menginginkan 1 ayam masak lodho utuh maka anda harus merogoh kocek sekitar kurang lebih Rp. 60.000/ekor. Ayam yang dimasak ini bukanlah ayam potong tetapi ayam kampung atau yang biasa disebut "Pithek Jowo".

Sunday, 27 November 2011

Alun - Alun Tulungagung



 

Inilah ikon kota Tulungagung saat ini. Dengan menara patung Garuda setinggi +/- 30 meter di tengah taman Di pusat kota ini anda dapat sejenak melepaskan beban dengan berjalan - jalan atau sekedar duduk - duduk di taman kota. Di alun alun ini disediakan fasilitas kamar mandi umum, tempat outbond untuk anak2, jalanan
berbatu untuk terapi tubuh, dan tempat duduk.

Dulu di kawasan ini adalah tempat berdagang yang sangat ramai waktu saya masih SD, mungkin karena program pemerintah akhrinya Satpol PP menertibkan para pedagang sehingga taman ini menjadi layak untu disebut taman. Tiap sore - malam, ada saja sekumpulan anak muda yang hanya sekedar nongkrong2 atau memadu kasih di kawasan ini.




Kini taman ini selain dihiasi oleh tumbuhan yang terawat, tempat untuk duduk-duduk, juga beberapa pagupon (Jawa: sarang merpati — red) ditempatkan di empat sudut taman. Adanya burung-burung merpati ini mungkin diinspirasikan dari taman-taman di Eropa. Ya, inilah ikon kota.
The best ever from Tulungalaygung.

Photo by Galih Satria

Wastafel Batu Kali (Large Size)

Batu Kali Wastafel Besar by ezavolturi
Batu Kali Wastafel Besar, a photo by ezavolturi on Flickr.
Batuan kali atau sungai yang dibuat kerajinan berupa wastafel, lampu taman, dll.

Wastafel Batu Kali

Batu Kali Wastafel by ezavolturi
Batu Kali Wastafel, a photo by ezavolturi on Flickr.
Batuan kali atau sungai yang dibuat kerajinan berupa wastafel, lampu taman, dll.

Wastafel Batu Fosil 3

IMG00292-20110709-1202 by ezavolturi
IMG00292-20110709-1202, a photo by ezavolturi on Flickr.
Adalah sebuah kayu yang sudah memfosil dan menjadi batu sehingga mempunyai corak kayu dalam wujud batuan dan dijadikanlah suatu kerajinan.

Wastafel Batu Fosil 2

IMG00293-20110709-1203 by ezavolturi
IMG00293-20110709-1203, a photo by ezavolturi on Flickr.
Adalah sebuah kayu yang sudah memfosil dan menjadi batu sehingga mempunyai corak kayu dalam wujud batuan dan dijadikanlah suatu kerajinan.

Wastafel Batu Erosi

IMG00314-20110709-1531 by ezavolturi
IMG00314-20110709-1531, a photo by ezavolturi on Flickr.
Adalah batu yang sudah mengalami proses erosi oleh alam sehingga mempunyai bentuk abstrak yang bernilai seni untuk dijadikan suatu kerajinan

Patung Budha Batu Kali

Batu Kali Patung Budha by ezavolturi
Batu Kali Patung Budha, a photo by ezavolturi on Flickr.
Salah satu kerajinan seniman batu Tulungagung

Wastafel Batu Fosil

Batu Fosil Wastafel2 by ezavolturi
Batu Fosil Wastafel2, a photo by ezavolturi on Flickr.
Adalah sebuah kayu yang sudah memfosil dan menjadi batu sehingga mempunyai corak kayu dalam wujud batuan dan dijadikanlah suatu kerajinan.

Wastafel Batu andesit

Batu andesit by ezavolturi
Batu andesit, a photo by ezavolturi on Flickr.

Pusaka Kyai Upas


Kyai Upas adalah nama sebuah pusaka berbentuk tombak, dengan landeannya ( kayu pegangannya) tidak kurang dari 5 meter. Pusaka ini berasal dari Mataram yang di bawa oleh R.M. Tumenggung Pringgodiningrat, putar dari Pangeran Notokoesomo di Pkalongan yang menjadi menanatu Sultan Jogyokarto kedua (Hamengku Buwono II) yang bertanda pada tahun 1792-1828, ialah ketika R.T. Pringgodiningrat diangkat menjadi Bupati Ngrowo (tulungagung) sekarang. Di samping pusaka itu ada kelengkapannya yang dalam isltilah Jawa disebut "Kyai Jinggo Pengasih" berwujud 1 perangkat gamelan pelog-slendro yang diberi nama "Kyai Jinggo Pengasih" besrta satu kotak wayang purwa lenkap dengan kelirnya. Pusaka dan pengiring ini tidak boleh dipisahkan dan sekarang tersimpan di bekas rumah pensiunan bupati Pringgokoesomo, di desa Kepatihan Tulungagung. Inilah yang oleh masyrakat Tulungagung dianggap sebagai pusaka daerah.

Sejak R.M. Tumenggung Pringgodaningrat pusaka tadi dipelihara baik-baik secara turun-temurun kepada R.M.Djajaningrat (Bupati ke V), lalu diturunkan kepada R.M. Adipati Somodiningrat (Bupati ke VI), kemudian diturunkan lagi kepada adiknya R.T. Gondokoesomo (Bupati Ngrowo VIII) dan selanjutnya diwariskan kepad adiknya ialah R.M. Tumenggung Pringgokoesomo (Bupati Ngrawo X). Setelah R.M. T Pringgokoesomo pensiun dalm tahun 1895 dan wafat tahun 1899, maka pemeliharaan pusaka diteruskan oleh Raden Ayu ialah seorang janda, sedang hak temurunnya (hak waris) kepada putranya yang bernama R.M. Moenoto Notokosoemo seorang komesaris polisi di Surabaya. Sejak tahun 1907 pemeliharaan pusaka berada di tanggan menantu R.M.T. Pringgokoesomo, yaitu R.P.A. Sosrodiningrat (Bupati Tulungagung XIII), dan sejak zaman Jepang di teruskan oleh saudaranya yang bernama R.A. Hadikoesomo. Setelah R.A. Hadikoesomo wafat, tugas ini diambil alih kembali oleh R.M. Moenoto Notokoesomo

Situs Candi Sanggrahan



Komplek Lapangan



Komplek candi berada pada pemukiman yang cukup subur dan terdiri atas tiga bangunan, masing – masing tidakutuh lagi. Secara administrasi situs masuk dalam lingkungan Dusun Sangrahan, Desa Sanggrahan yang merupakan daerah rawan banjir.
Secara umum komplek percandian terdiri atas sebuah bangunan induk dan 2 buah sisa bangunan kecillainya. Bangunan induk berukuran panjang 12.60m lebar 9.05 m tinggi 5.86 cm. Bangunan ini terdiri atas empat tingkat yang masing – masing berdenah bujur sangkar dengan arah atap menghadap ke barat. Bangunan kecil yang berada di sebelah timur bangunan induk hanya tersisa bagian bawahnya saja. Bahan yang digunakan dalam pembangunanya adalah bata. Di tempat ini dulu terdapat lima buah Arca Budha yang masing – masing memiliki posisi mudra yang berbeda. Demi keamanan dari pencurian,sekarang arca tersebut di simpan di rumah juru pelihara.

Bangunan diatas berada padat teras/ undakan berukuran 51 m x 42.50 m. Pagar penahan undakan itu adalah bata setinggi tidak kurang daridua meter.
Berdekatan dengan komplek Candi Sangrahan ini terdapat Candi Boyolangu serta peninggalan kuno lain di perbukitan Walikukun. Seperti Gua Selomangkleng (sekitar 1 km) dan Goa Pasir. Dapat diduga bahwa kekunaan itu dibangun pada masa yang tidak berbeda. Saat ini fungsi dari situs tersebut sebagai obyek wisata,kebanyakan para pelajar baik dari daerah Tulungagung maupun dari luar daerah.


Latar Belakang Sejarah

 
Hingga saat ini dikenal cerita rakyat versi Sina Wijoyo Suyono berkenaan dengan Candi Sanggrahan, yang dikatakan sebagai tempat yang dipergunakan untuk beristirahatnya rombongan pembawa jenazah Gayatri (Rajapadmi),pendeta wanita Budha (Bhiksumi) masa kerajaan Majapahit Pemerintahan Hayam Wuruk. Jenazah itu dibawa dari Kraton Majapahit untuk menjalani upacara pembakaran di sebuah tempat disekitar Boyolangu. Dalam versi tersebut, Candi Sanggrahan disebut Candi Cungkup, sedangkan candi Boyolangu dikenal dengan nama Candi Gayatri ( Anonim 1985 ) Sumber lain yang berhubungan dengan kekunaan itu belum dijumpai.



Latar Belakang Budaya
 

Tidak banyak yang dapat diungkapkan mengenai candi tersebut, disamping karena kurangnya bahan tersedia juga mengingat keletakanya yang berdekatan dengan situs lain yang sezaman. Secara umum pembicaraan tentang latar belakang budayanya dapat disejajarkan dengan Candi Boyolangu. Seperti halnya candi lain yang masih banyak dijumpai,fungsi utama sebuah candi adalah tempat pemujaan. Hal ini berlaku juga untuk Candi Sanggrahan, ditambah dengan keterangan lain yang menyebutkan sebagai sebuah tempat persinggahan sebelum diadakan upacara sekar di Candi Gayatri.
Berdasarkan padatemuan berupa arca – arca Budha dalam berbagai mudra-Nya,dapat dikatakan bahwa keagamaan Candi Sanggrahan ini adalah agama Budha. Namun halini bukanlah sesuatu yang mutlak,karena pada zaman kerajaan Singhasari Majapahit diketahui adanya perbauran antara kepercayaan asli berupa pemujaan terhadap arwah leluhur dan kepercayaan Siwa dan budha ( Slamet Mulyana 1979 )

Situs Candi Gayatri

Candi Boyolangu merupakan kompleks percandian yang terdiri daritiga bangunan perwara. Masing – masing bangunan menghadap kebarat, candi ditemukan kembali oleh masyarakat pada tahun 1914 dalam timbunan tanah. Bangunan pertama disebut dengan bangunan induk perwara, karena bangunan ini berukuran lebih besar disbanding dengan bangunan kedua bangunan lainnya. Letak bangunan ini ditengah bangunan lainya.

Candi Boyolangu berada di tengah pemukiman penduduk di wilayah Dusun Dadapan, Desa Boyolangu, kecamatan Boyolangu Kabupaten Tulunaggung, Wilayah Propinsi Jawa Timur.
Bangunan induk perwara terdiri daridua teras berundak yang hanya tinggal bagian kakinya. Bentuk bangunan berdenah bujursangkar dengan panjang dan lebar 11,40 M dengan sisa ketinggian kurang lebih 2,30M ( dengan mengambil sisi selatan ).
Di dalam bangunan ini terdapat sebuah sempalan arca wanita Budha dan beberapa umpak berukuran besar. Kondisi arca sudah rusak, namun masih terlihat baik. Bagian kepala dan anggota tangan arca hilang karena pengrusakan. Oleh para ahli arca ini dikenal dengan nama Gayatri. Gayatri adalah salah satu dari keempat anak raja Kertanegara ( Singhosari ) yang kemudian diwakili Raden Wijaya ( Majapahit ). Masa hidupnya Gayatri terkenal sebagai pendeta wanita Budha (Bhiksumi ) masa kerajaan majapahit dengan gelar Rajapadmi.

Bentuk arca menggambarkan perwujudan Dhyani budha Wairocana dengan duduk diatas padmasanan (singgasana)berhiasdaun teratai. Sikap tangan rcaadalah Dharmacakramudra (mengajar). Badan arca dan padmasana tertatah halus dengan gaya Majapahit. Sedangkan jumlah unpack pada bangunan perwara ini, sebanyak tujuh buah dengan dua umpak berangka tahun 1291 C ( 1369 M ) dan 1322 C ( 1389 M ). Dengan adanya umpak – umpak tersebut diduga bangunan Candi Boyolangu dahulunya memakai atap, mengingat fungsi umpakpada umumnya sebagai penyangga tiang bangunan.
Berdasarkan angka tahun pada kedua umpak bangunan induk ( 1369 M, 1380 M ) maka diduga Candi Boyolangu dibangun pada zaman Majapahit masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk ( 1359 M, 1389 M ). Sedangkan sifat, nama dan tempat bagunan disebutkan dalam kitab Kesusastraan Nagarakertagama karangan Mpu Prapanca (masa Majapahit Pemerintahan Raja Hayam Wuruk ) bahwa di Boyolangu terdapat bangunan suci (candi) beragama Budha dengan nama Prajnaparamitapuri.

Banguan perwara yang kedua berada di selatan bangunan induk. Keadaan bangunan hanya tinggal bagian kaki dan berdenah bujursangkar dengan ukuran panjang dan lebar 5,80 m. Adapun bangunan perwara ketiga berada di utara bangunan induk perwara. Kondisi bangunan sudah runruh dan berdenah bujursangkar dengan ukuran panjang dan lebar masing – masing 5,80m.

Latar Belakang Sejarah

Candi ini ditemukan kembali padatahun 1914, yang menurut informasi sejarah dibangun pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1359 1389 M ). Sumber lainya menyebutkan bahwa candi ini merupakan penyimpanan abu jenazah Gayatri yang bergelar Rajapadmi.
Berdasarkan pada angka tahun terdapat pada bangunan induk diketahui bahwa candi ini dibangun padazaman majapahit, yaitu sekitar abad XIV. Pembangunannya dikaitkan dengan tokoh wanita yang diduga adalah Gayatri. Menurut kitab Nagarakertagama bangunan ini didirikan pada masa Pemerintahan Hayam Wuruk ( 1359 1389 M) dengan nama Prajnaparamitaputri ( Slametmulyana, 1979 ).
Menurut keterangan para ahli bangunan inimerupakan tempat penyimpanan abu jenazah Gayatri setelah jenazahnya dibakar di lokasi lain yang berdekatan.
Situs ini berada pada dataran yang berjarak hanya sekitar 6km di sebelah selatan kota Tulungagung. Di sekitarnya cukup banyak situs lain yang dapat ikatakan sejaman. Sekitar 1km disebelah timurnya terdapat Candi Sanggrahan yang menurut cerita merupakan tempat persinggahan pada saat menuju Candi Boyolangu atau Candi Gayatri.

Latar Belakang Budaya

Situs ini dahulu berfungsi sebagai tempat penyimpanan abu jenazah Gayatri dan sekaligus tempat pemujaan masyarakat pendukungnya dalam pemuliaan tersebut Gayatri diwujudkan sebagai Dyani Budha Wairocana dengan sikap Dharmacakramuda.
Hal tersebut didukung dengan temuan berupa sumuran dan arca perwujudan Majapahit.melihat pada Arca Pantheon Dewa dan wahananya,dapat ditentukan bahwa situs berlatar belakang agama Hindu.
Pada masa Indonesia kuno,candi dikenal sebagai tempat pemujaan,temapat raja/penguasa yang telah meninggal dimanifestasikan sebagai arca perwujudan yang sekaligus dijadikan sarana pemujaan masyarakat pendukungnya.
Artinya tempat tersebut selain berfungsi sebagai temnpat pemujaan juga sebagai tempat penyimpanan abu jenazah Raja /Penguasa.

Fungsi candi persinggahan itu cukup menonjol mengingat berbagai sumber menyebutkan peran Candi Boyolangu sebagai tempat keramat yang di sekar para pembesar Majapahit setiapbulan Badrapada.
Di bagian selatan Candi Boyolangu ini, seolah – olah melingkarinya, terdapat situs – situs lain yang berada di perbukitan. Bermula dari Gua Tritis disebelah Barat Daya, terus ke Tenggara adalah situs – situs Goa Selomangkleng, Candi Dadi dan Goa Pasir. Jarak antara Boyolangu dan masing – masing situs berkisar antara 2 – 4 km.

Situs Candi Dadi

Komplek candi ini berada padaketinggian 360 m dari permukaan laut, berada di tengah areal kehutanan dilingkunganb RPH Kalidawir. Secara administratif candi ini masuk wilayah Dusun Mojo, Desa Wajak Kidul. Lokasi candi ini dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama kurang lebih 40 menit dari DesaWajak kidul kearah Selatan.

Candi ini merupakan candi tunggal yang tidak memiliki tangga masuk hiasan maupun arca. Candi tersebut berdiri tegak pada puncak sebuah bukit di lingkungan Pegunungan Walikukun. Denah Candi berbentuk bujursangkar dengan ukuran panjang 14m lebar 14m dan tinggai 6.50m. Bangunan berbahan batuan andesit itu terdiri atas batur dan kaki candi. Berbatur tinggi dan berpenampilan setiap sisinya. Bagian atas batur merupakan kaki candi yang berdenah segi delapan,pada permukaan tampak bekas tembok berpenampang bulat yang kemungkinan berfungsi sebagai sumuran. Diameter sumuran adalah 3.35m dengan kedalaman 3m.



Dalam perjalanan kelokasi ini dapat dilihat sisa bangunan kuno yang masing – masing disebut Candi Urung, Candi Buto, dan Candi Gemali. Candi – candi yang disebut belakangan dapat dikatakan tidak terlihat lagi bentuknya, kecuali gundukan batuan andesit itu pun sudah dalamjumlah yang sangat kecil yang memadai keberadaanya dahulu.
Saat ini situs dipergunakan sebagai obyek wisata dan pengenalan sejarah bagi siswa – siswa di lingkup Kabupaten Tulungagung,bahkan rombongan pelajar sering memanfatakan lingkungan sekitar untuk melakukan perkemahan.

Latar Belakang Sejarah
 

Berakhirnya kekuasaan HayamWuruk juga merupakan masa suram bagi kehidupan Agama Hindu. Pertikaian politik yang terjadi di lingkungan kraton memunculkan kekacauan, seiring dengan munculnya agama islam. Dalamkondisi yang dermikian,penganut Hindu Budha yang berupaya menjauhkan diri dari pertikaian yang ada melakukan pengasingan agar tetap dapat menjalankan kepercayaan/ tradisi yang dimilikinya. Sebagaian besar memilih puncak – puncak bukit atau setidaknya kawasan yang tinggi dan sulit dijangkau. Biasanya tempat baru yang mereka pilih merupakan tempat yang jauh dari pusat keramaian maupun pusat Pemerintahan.
Candi Dadi adalah salah satu dari karya arsitektural masa itu sekitar akhir abad XIV hingga akhir abad XV.



Latar Belakang Budaya

 
Selain sebagai temapat pemujaan dapatdiduga bahwacandu tersebut dahulu berfungsi juga sebagai tempatpengabuan, pembakaranjenazah tokoh penguasa.Sifatkeagamaan yang melatar belakangi pendiriannya secaratepat belumdiketahui.Hal tersebut disebabkan tidak ditemukannya datayang mampu menunjuang upaya pengenalannya secara langsung.Meskipundemikian sumuran yang terdapatdi bagiantengah bangunan tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk darikarakter sebuah pencandian berlatar keagamaan hindu.
Keletakan pada puncak sebuah bukit yang cukup sulit untuk dijangkau, dihubungkan dengan anggapan masyarakat Indonesia kuno bahwa puncak gunung merupakan tanah suci. Sebagai sebuah tradisi yang berlangsung sejakj aman prasejarah yang percaya bahwa arwah paraluluhur berada disana, masyarakat penganut budaya hindu juga memanfaatkan puncak-puncak gunung untuk meletakkan bangunan sucinya. Hal itu bertalian dengan .Hal itu berkaitan dengan mitos keagamaan dengan mitos keagamaan Hindu yang menganggap bahwa tempat bersemayamnya para dewa adalah tempat yang tinggi. Bila tidak terdapat sebuah puncak gunung atau bukit, merekamenggunakan terasberundak yang secara fisik da[at menggambarkan keletakanya yang lebih tinggi, atau dapat pula dilakukan dengan mengadakan pembagian halaman. Halaman terakhir adalah tempat, yang dianggap paling tinggi dan di tempat itulah diletakkan sesuatu yang dianggap paling megah atau paling besar sebagai cerminan kahyangan.



Berkenaan dengan fahan yang demikian itu, lingkungan alam disekitar Candi Dadi memang sangat mendukung. Berada pada puncang bukit yang mengahadap kelembah utara ,karya arsitektur tersebut betul – betul mennggambarkan kemegahan. Sesuatu yang memang patut dipersembahkan kepada sesembahanya. Tidak mengherankan bila disekitarnya,padaradius kurang 1 km, dijumpai sisa/bekas bangunan suci lain yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai candi Urung,Candi Buto dan candi Gemali. Semuanya menempati puncak – puncak bukit yang langsung berhadapan dengan lembah Boyolangu disebelah utaranya.
Untuk kepentingan manusia masa kini, pengenalan akan pemahaman tentang kegungan sang pencipta memang dapat dipupuk dari situs dan lingkungan alam di sana. Mencitai keindahan alam yang terdampar disekitar Candi Dadi beserta kelompok candi lain didekatnya,juga sejalan dengan upaya mencintai karya budaya nenek moyangnya, dan itu semua adalah juga sama untuk mencintai Penciptanya.


source : dmosisboy

Telaga Buret

Salah satu telaga yang masih mampu mengeluarkan sumber air dari sungai bawah tanah walau semakin menyusut debet air yang dikeluarkan karena pengaruh iklim dan penggundulan hutan namun masih bisa untuk mengairi sawah dari sebagian tiga desa,meski bergilir yaitu Desa Sawo, Ngentrong dan Gedangan
Menurut kepercayaan yang menguasai di telaga Buret adalah Mbah Djiigangdjoyo. Dalam cerita sebetulnya mbah Djigangdjoyo itu juga seorang pangeran tetapi oleh sebab termasuk pangeran yang sudah tua, maka lazimnya orang-orang lalu menyebutnya mbah Djigang begitu saja.

Mungkin pengeran Djigangdjojo itu juga seorang pelarian yang tujuannya sama dengan Pangeran Benowo di Bedalem hanya tempatnya menepi di telaga Buret.
Mbah Djigangdjojo kesenangannya adu jago. Sampai sekarang ini masih dipercayai kalau mbah Djigangdjojo itu kalah jagonya, maka keadaan ikan-ikan di rawa-rawa kelihatan banyak sekali.
Mbah Djigangdjojo mempunyai 2 orang anak yang seorang bernama Sekardjojo tempatnya masih menjadi satu ditelaga Buret berkumpul dengan mbah Djigangdjojo, sedang yang seorang bernama Kembangsore bertempat dibawah dawuhan/jempatan desa Gedangan.

Keadaan telaga Buret sampai sekarang seakan-akan masih tampak keangkerannya. Tak ada yang berani mengambil ikan dari sekitar Telaga itu, karena menurut kepercayan kalu ada yang berani mengambil, akhirnya tidak antara lama pasti menderita/mendapat halangan.
Kecuali kalau ikan tadi sudah berada di dawuhan Malang, biarpun asalnya dari telaga Buret tetapi sudah bisa diambil oleh siapapun saja.
Bagi desa Sawo, Gedangan dan Ngentrong telaga Buret merupakan tempat yang dianggap keramat.
Tiga desa tersebut tiap 1 tahun sekali tepat pada bulan Selo, hari Jum’at Legi bersama-sama mengadakan ulur-ulur /slamatan disitu.

Menurut cerita para sesepuh kalau setiap tahun desa-desa tadi tidak mengadakan ulur-ulur (slametan) ke telaga Buret itu, maka banyak terjadi halangan didesanya. Oleh sebab itu hingga sekarang tidak berani meninggalkan kebiasaan tersebut.
Kecuali itu telaga buret masih menjadi tempat menepi bagi orang-orang yang akan magang lurah, kedatangannya kesitu untuk mencari timbul. Sewaktu-waktu sudah berhasil/tercapai cita-citanya lalu mengadakan slametan/nyadran ke telaga tersebut.

<iframe width="420" height="315" src="http://www.youtube.com/embed/rRFIUAFbplM" frameborder="0" allowfullscreen></iframe>

Upacara Adat Ulur - Ulur Di Telaga Buret

Di Desa Sawo, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungangung, yakni di dukuh Buret terdapat bekas peninggalan sejarah yang berupa telaga. Telaga tersebut dimanfaatkan oleh warga sejumlah 4 desa, yauitu desa Sawo, desa Gedangan, desa Gamping, dan desa Ngentrong untuk pengairan 4 desa tersebut. Telaga tersebut berupa sumur dengan garis tengah kurang lebih 75 meter dan di sebut telaga Buret. Penduduk dari 4 desa tersebut sangat kental mempercayai nilai-nilai magis telaga tersebut.

Ulur-ulur merupakan upacara adat yang diselenggarakan di telaga Buret setiap tahun pada hari Jum'at Legi bulan Suro.

Kegiatan pokok adalah memandikan arca Dewi Sri Sedono dan tabur bunga di telaga Buret petilasan Eyang Jigang Joyo dalam mitos sebagi seorang tokoh perintis pemanfaatan air telaga Buret untuk pertanian di Desa Sawo, Gedangan, Ngentrong, dan Gamping. Pada upacara tersebut ada kegiatan "Nglampet" yaitu membendung air telaga yang dilaksanakan dengan gotong royong. Cultur ini masih melekat di masyarakat Sawo dan sekitarnya masih sekarang berupa kegiatan gugur gunung dan bersih desa.

Ritual Ulur-ulur dimulai dengan tayuban(sejenis nyanyia-nyanyian tradisional). Tayuban dimulai dengan membunyikan gending onang-onang. Gending onang-onang tersebut dipercaya merupakan kegemaran Mbah Jigang Jaya, yakni penghuni telaga Buret. Menurut kepercayaan masyarakat pada saat gending onang-onang di bunyikan yang menari saat itu adalah ”roh” dari Mbah Jigang Jaya, biasanya dibarengi dengan adanya angin bertiup kencang, selanjutnya diteruskan dengan gending-gending lainnya. Selanjutanya adalah memandikan arca Dewi Sri Sedono dan tabur bungan di telaga Buret.

Dalam upacara Ulur-ulur harus disediakan beberapa sesaji, adapun sesaji tersebut adalah sebagai berikut:
  • Nasi kebule(sega gurih) sekul suci ulam sari, ambeng mule, buceng robyong, buceng kuat, jenang sengkala.
  • Bermacam-macam duadah(jadah)waran, jadah putih, jadah merah, jadah kuning, jadah hitam, wajik, dodol ketan, ketan kinco, bermacam-macam
  • Kue sembilan warna.,yaitu: umbi-umbian. Masing-masing warga desa membawa kue yang berbeda warnanya.
  • Pisang raja, cokbakal, badek, candu, kemenyan, minyak wangi, bunga telon, mori, topi janur, tikar, gantal, gula gimbal,dan kelapa tanpa sabut. Semua dimasukkan kedalam bokor kecuali kendi, tikar, dan topi janur.
Semuanya kemudian di larung di telaga Buret.

Telaga Buret teletak di kawasan seluas 37 Ha (Dinas Lingkungan hidup), dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai tempat yang keramat. Menurut kepercayaan masyarakat siapapun yang mengusik wilyah tersebut, misalnya mengambil ikannya, menebang pohon di wilayah tersebut maka akan memperoleh kutukan dari penunggu wilayah tersebut

Wednesday, 16 November 2011

Ngunut


Sebuah siang yang cukup terik di pusat kota kawedanan Ngunut. Jika Anda melintas dari Tulungagung menuju ke Blitar, pasti anda melewatinya. Kota kecil di timur Tulungagung.


Location : Depan rumah "Bunda Minnie"

Kawasan Pendapa Tulungagung


Saya hanya bisa memotret gapuranya. Bahkan dari jarak seratus meteran, bapak-bapak Satpol PP yang sedang berjaga di depan gerbang pendapa bisa mengetahui kamera saya dan langsung siaga. Siap melotot dan mengusir saya jika berusaha mendekat. Ya sudah, saya tak mau ribut-ribut. Kabarnya, pusaka utama Tulungagung, keris Kiai Upas disimpan di sini. Pantas kalau dijaga ketat, hehehe…

Kantor Pos Tulungagung


Bangunan berwarna oranye yang sangat khas ini mencoba bertahan di tengah gempuran media komunikasi modern

Masjid Al-Munawar


Lihat arsitekturnya. Masjid ini tidak memiliki kubah yang bulat, tetapi segitiga. Perpaduan arsitektur Arab dengan Jawa (joglo). Masjid ini telah mengalami renovasinya yang terbaru seperti penambahan lis pintu utama yang saya kira mengadaptasi arsitektur Masjid Nabawi, Madinah. Sayangnya, ubahan ini terlalu berat karena ruang yang terlalu sempit. Sehingga dengan adanya hiasan ini, masjid ini jadi terlihat sempit dan kurang lega.


Namun demikian, seperti masjid-masjid lainnya, suasana di dalam sangat sejuk dan syahdu. Ini tempat favorit saya untuk shalat Jumat kalau sedang pulang kampung.

Pantai Klathak



Klathak adalah salah satu pantai kebanggaan Tulungagung. Pantai ini memiliki ombak yang fantastis dan dingin dengan angin laut yang lembut. Para pengunjung dapat melakukan aktivitas laut di sini, seperti memancing, mandi matahari, voli pantai, dll Ada juga pedagang makanan dan minuman di sekitar pantai. Kunjungi dan menikmati pantai Klathak di Tulungagung bersama keluarga, teman dan lainnya. Dengan ciri khas deburan ombak yang berbunyi "klatak...klatak...klatak..." mngkin masyarakat setempat menyebutnya Pantai Klathak. Dengan perjalanan kurang lebih 1,5 jam dari pusat kota Tulungagung - Campurdarat - Besuki - (Pertigaan Koramil ke barat).

Padepokan "Retjo Sewu"

Kalau sudah berada didalam kawasan PIP (Pantai Indah Popoh) maka rasanya kurang lengkap kalau tidak mengenal yang namanya Padepokan Retjo Sewu, bangunan yang memang masih terbilang baru ini memang diresmikan sekitar tahun 1995. Merupakan bangunan monumental yang menghadap ke arah Laut Selatan, Pantai Laut Selatan (Samudra Indonesia). 


Patung Retjo ini terdiri dari seribu patung yang tersusun secara rapih dari mulai yang paling besar sampai yang paling kecil, jumlah tepatnya sih menurut sumber informasi terdiri dari 2800an patung dengan patung tertinggi setinggi 9 meter, lokasinya sendiri terdapat didalam kawasan PIP dibagian depan sebelum menuju ke pantai. Nah didalam retjo Sewu ini terdapat makam bapak Soemiran Karsodiwirjo pendiri Pabrik rokok Retjo Pentung, dan didepan padepokannya terdapat arca Retjo Pentung.


Sebenarnya tidak boleh mengambil gambar di situ, tapi nekat saja ah sambil ngumpet-ngumpet entah mistis atau tidak katanya setiap yang ambil foto makam bapak Soemiran bakalan ketemu sama tuh bapak, itu juga kata pakle ku menceritakan sejarah pabrik rokok yang pertama kali di Tulungagung. Nah balik lagi ke patung-patung yang jumlahnya banyak ini ternyata menurut kepercayaan masyarakat semua hal-hal yang berada di Padepokan Retjo Sewu mengandung unsur angka 9, Belive it or Not.


  1. Peresmian PRS bersamaan dengan HUT ke 171 Kota Tulungagung dan pembukaannya dimeriahkan dengan 4 Jaranan, 4 Reog dan 1 Reog Ponorgo = 9 tampilan.
  2. Gapura Susun padepokan = 9 susun
  3. Tinggi bangunan induk = 27 m (9x3)
  4. Lebar bangunan induk = 81 m (9x9)
  5. Jumlah jenis ikan di Palereman Nyai Roro Kidul = 30 jenis
  6. Jumlah ikan di Palereman Nyai Roro Kidul = 270 ikan (gak kurang dan gak lebih)
  7. Ketinggian padepokan dari laut = 9 gundukan tanah (total tingginya 180 m)
  8. Tinggi arca Retjo Pentung = 9 m
  9. Jumlah trap-trap dari bawah s/d bangunan induk = 18 trap ( 1 trap = 9)
Karena ini padepokan memang dikhususkan dibangun untuk sang permaisuri Pantai Selatan, maka gak heran kalo banyak orang yang datang ke padepokan ini hanya mempercayai mistisnya bukan sejarah dan keindahan dari patung-patung yang berdiri tegak ini. Tempat wisata ini memang sangat bagus dan penuh dengan historikalnya jadi kepingin tau siapa yang menciptakan hampir 3000 patung ini.




Pantai Sidem



Pantai Sidem Tulungagung,Jawa Timur. Di perkampungan nelayan ini wisatawan dapat menemukan industri rumah tangga dengan produk yang dihasilkan seperti berbagai ikan asin dan terasi vang telah dikemas rapi, serta siap untuk dibawa pulang sebagai buah tangan.  Dari kampung nelayan di Pantai Sidem ini pula, dapat dinikmati PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) yang diresmikan oleh Bapak Menteri Pertambangan dan Energi pada tahun 1994, dengan kemampuan sekitar 30 Mega Watt. Kedua lokasi wisata pantai ini dapat dicapai melalui jalan darat vang telah beraspal dengan baik dan hanya memerlukan waktu tempuh sekitar 30 menit dari Kabupaten Tulungagung maupun Trenggalek clan + 60 menit dari Blitar atau Kediri.
Apabila tidak membawa kendaraan pribadi, kendaraan umum tersedia dari Sub Terminal Bus Kota Tulungagung. Seluruh Masyarakat Tulungagung tentu sudah banyak yang mengenal tentang Pantai Popoh, dimana dalam pantai ini disamping udaranya sejuk juga banyak ditumbuhi pohon – pohon besar. Pantai yang berbentuk teluk ini bila di musim liburan tiba selalu banyak dukunjungi para wisatawan baik lokal maupun dari luar daerah. Disamping timur Pantai Popoh masih ada sebuah pantai yang layak untuk dikunjungi oleh wisatawan, biarpun sebagian masyarakat belum begitu mengenalnya.  Adapun pantai yang dimaksud yaitu Pantai Coro.

Apa yang menarik pantai ini ? Di pantai yang memiliki panjang sekitar 400 meter, pasirnya berwarna putih dan tidak kalah dengan pantai lain yang ada di Jawa Timur dan pasirnya lembut dan bersih.  Selain itu daya tarik lain pada pantai yang berjarak sekitar 1,5 Km dari Padepokan Retjo sewu menuju ke timur ini keberadaannya masih alami dan belum banyak tergarap serta ombak pantai juga tidak terlalu besar. Lebih dari itu air laut pantai sangat jernih sehingga permukaan dasar laut bisa dilihat dengan mata telanjang, seperti semua karang dan tumbuhan laut

Pantai Brumbun


Pantai Brumbun terletak di wewengkon Kabupaten Tulungagung yang berbatasan langsung dengan pantai selatan. Pantai kecil ini sejatinya merupakan teluk yang masih sangat alami. Berbeda dengan Pantai Popoh yang oleh Pemda Kabupaten telah resmi diekspos sebagai tempat kunjungan wisata, Pantai Brumbun seperti anak tiri yang tidak diperhatikan. Tetapi justru karena itulah, pantai ini masih sangat alami dan begitu cantik.

Terletak sekitar 35 km dari pusat kota, Pantai Brumbun bisa ditempuh melalui jalur yang sama dengan Pantai Indah Popoh. Anda bisa mengambil jalur Tulungagung - Boyolangu - Campurdarat - Ngentrong. Pertigaan SMAN 01 Campurdarat (SMA Ngentrong) belok ke kiri menuju kecamatan Tanggunggunung. Sebelum sampai kecamatan, ada jalan kecil ke kanan beraspal jelek yang menuju pantai Brumbun. Jalan ini berbukit-bukit, jadi perhatikan kendaraan Anda harus benar-benar fit. Di perjalanan Anda akan melihat bukit-bukit yang dulu adalah hutan kecil yang rimbun yang sekarang telah gundul dan berubah menjadi ladang jagung, dari jalanan ini anda bisa melihat batuan alam yang ditambang untuk bahan baku kerajinan batu onix khas Tulungagung yang tersohor tersebut. Tapi perjuangan anda selama perjalanan akan terbayar dengan keindahan pantai ini.

 
Pantai Brumbun dari atas bukit 



Bukit gundul. Terlihat nun jauh di sana adalah pusat tambang marmer Tulungagung.

Hamparan pantai yang masih sepi pengunjung. Sangat alami.



 
Laguna kecil, air yang terjebak ketika laut surut.


Foto by Galih '08
Back to top

Pantai Popoh "Tombak Pariwisata Tulungagung"

Pantai Popoh adalah obyek wisata pantai yang terletak di pesisir Samudera Hindia Kabupaten Tulungagung. Pantai ini merupakan salah satu obyek wisata andalan Tulungagung. Kawasan Popoh berada di ujung timur Pegunungan Kidul.

Pantai popoh merupakan pantai yang telah dikembangkan dengan baik oleh P.R. Retjo Pentung. Akses menuju pantai popoh dapat ditempuh dengan aman dan nyaman melalui jalan aspal. Lokasinya kurang lebih 27 km dari pusat kota Tulungagung menuju arah pantai selatan.
Dalam perjalanan menuju objek wisata Pantai Indah Popoh ini para pelancong dapat mengunjungi sentra kerajinan batu onyx yang merupakan salah satu produk unggulan Kabupaten Tulungagung.

Lelahnya perjalanan 28 kilometer arah selatan dari pusat Kota Tulungagung menuju Pantai Popoh, terbayar kala sudah sampai di sana. Sebuah keindahan terlihat dari atas, tepatnya di jalur menuju Pantai Popoh, Desa Besole, di kilometer pertama.


Pantai ini berbentuk teluk sehingga suasana tercipta suasana khas di dalamnya. Deburan ombak Laut Selatan yang penuh pesona magis, angin laut yang tidak begitu kuat, karang payung yang menyembul dari bawah laut, keindahan gunung disekitar teluk, dan dan "Reco Sewu" telah menjadi daya tarik utama pantai ini.
Di sekitar Pantai Popoh Indah juga terdapat penginapan yang langsung menghadap laut, selain itu juga ada pasar ikan, berbagai macam penjual souvenir, kebun binatang, dan taman bermain.

 


Puluhan perahu nelayan bersandar di tepi pantai. Bergerak pelan,  seperti asyik menyaksikan birunya air laut yang menghampar. Agak menjorok ke daratan, pepohonan berdiri rindang. Melebur dalam lalu lalang orang di sana yang sibuk melakukan aktifitas rutin. Pantai Popoh memang ramai. Ada yang sibuk menawarkan makanan ikan bakar di warung, ada yang menawarkan barang kerajinan berbahan onyx, ikan laut mentah, bahkan ada yang tak berhenti menawarkan paket wisata bahari.

Pantai Popoh terletak di jalur laut selatan atau Samudera Indonesia. Tepatnya berada di Desa Besole, Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung. Pantai yang berada di sekitar 176 meter dari permukaan laut (mdpl) ini, dikelola langsung oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tulungagung. Sedangkan beberapa area hutan yang terdapat di sekitar pantai, berada di bawah kelola pihak perhutani setempat.


Laut Bebas

Potensi alam yang ditawarkan di Pantai Popoh mulai terlihat sejak tahun 1980-an. Kala itu, Pemerintah Kabupaten Tulungagung berupaya mengembangkan Pantai Popoh dengan menambah sejumlah sarana dan prasarana.
Tahun 1986-an pengelolaan diberikan pada PT. Sutra Bina Samudera, hingga tahun 2006. Setelah itu dan hingga saat ini, Pantai Popoh kembali di bawah pengelolaan Pemkab Tulungagung, dalam hal ini berada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tulungagung. Bersamaan dengannya, pantai ini ditetapkan dengan nama Pantai Indah Popoh (PIP).

Pantai Teluk Terlengkap
Pantai Popoh adalah pantai alam berbentuk teluk (pantai teluk) di pesisir Laut Selatan (Samudera Indonesia). Tak heran jika ombaknya yang terbilang biasa-biasa saja, mampu memberikan rasa nyaman, aman, dan rasa rindu untuk datang kembali.
Di sisi lain, Pantai Popoh juga mempunyai pesona dan kekhasan tersendiri. Etalase yang dimiliki, jarang ditemui di pantai-pantai lainnya. Seperti kombinasi batu karang, rindangnya pepohonan, serta perbukitan yang mengelilingi pantai.


Di beberapa sudut, pengunjung juga dimanjakan lengkapnya fasilitas publik, seperti penginapan, pendopo agung, areal parkir luas, kios souvenir dan asesoris, rumah makan, warung telekomunikasi, arena bermain anak-anak, dan panggung kesenian terbuka.
Bagi para wisatawan yang suka berlama-lama menikmati panorama laut pantai selatan, bisa duduk di view post atau gardu pandang. Di bagian ini kita dapat memandangi Pantai Sidem dan Terowongan Niyama, keduanya berada di sebelah barat Pantai Popoh. Belum lagi memandangi bukit-bukit pegunungan batu marmer yang banyak terdapat di desa setempat.

Sensasi lain yang tak kalah menarik, ada pada pasar ikan yang dikenal dengan nama Tempat Pelelangan Ikan (TPI) KUD Minakarya. Khusus pada bulan Januari sampai September, musim panen hasil laut tiba. Tempat inipun menjadi sasaran wisatawan dan warga sekitar untuk berburu ikan segar.
Seperti yang dikatakan Yuli Anggraeni, wisatawan asal Blitar. Pada EastJava Traveler ia mengatakan, biasanya, selain untuk tujuan berwisata, kedatangannya juga karena ingin membeli ikan laut yang ada di tempat pelelangan ikan Pantai Popoh. “Apalagi macamnya banyak dan harganya pun relatif murah,” imbuhnya.

Mulai pagi menjelang, TPI KUD Minakarya nampak ramai dengan transaksi jual beli. Dari obrolan mereka nampak adanya perpaduan dua budaya, Madura dan Jawa. Menurut keterangan Widi Astuti, pengurus TPI KUD Minakarya, penduduk setempat selain mencari ikan sendiri, juga terkadang membeli dari para nelayan yang datangnya dari Madura.
Ikan yang biasanya ada adalah ikan layur, udang, keting, rebon, tongkol, teri, cumi-cumi, dan masih banyak lagi. Harga yang ditawarkan pun bervariasi, mulai dengan patokan harga Rp 3.000 per kilogram untuk layur, Rp 3.000 per kilogram untuk rebon (bahan trasi, Red), dan Rp 6.500 per kilogram untuk ikan tongkol. “Harga-harga itu bisa turun dan tergantung dari banyaknya yang dibeli,” ujar Choiruddin, 44 tahun, salah seorang penjual ikan di TPI KUD Minakarya.

Gambaran inilah yang senantiasa melekat di Pantai Popoh. Setiap hari, pantai ini tidak pernah sepi dari aktifitas orang-orang yang mencari nafkah. Semangat mereka menjadi pendukung dan bersanding dengan panorama laut yang khas saat berkunjung ke sana.

Dongkrak PAD
Sebagai salah satu kawasan andalan wisata di kabupaten yang memilki luas wilayah 1,055,65 kilometer persegi ini, raihan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diperoleh dari Pantai Popoh terbilang cukup membanggakan.


Menurut Gatot Sulu Utomo, penanggung jawab kelola obyek wisata Pantai Popoh, di tahun 2007 lalu, Pantai Popoh memberikan kontribusi anggaran sebesar Rp 60 juta bagi PAD Kabupaten Tulungagung. “Dari jumlah itu berarti target yang diberikan telah terpenuhi, padahal kami ditarget sebesar Rp 40 juta,” kata bapak satu anak ini.

Pendapatan ini, selain berasal dari kekayaan sumber daya laut yang ada di sana, juga dari besarnya jumlah kunjungan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara yang datang ke Pantai Popoh. “Jumlah pengunjung mencapai ratusan, belum lagi bila terjadi lonjakan pengunjung saat ada event tertentu,” ujar Gatot lagi.

Pada saat tertentu, Pantai Popoh kerap diwarnai berbagai event seni dan budaya. Seperti pertunjukan musik dangdut, pagelaran wayang kulit, jaranan, dan setiap Bulan Suro (Muharam) diselenggarakan upacara Labuh Semboyo.

Kelebihan lain dari potensi wisata Pantai Popoh, tersedia paket wisata bahari mengitari Pantai Popoh, dengan naik speed boat atau perahu motor. Wisatawan diajak mengelilingi tepian pantai hingga melewati Pantai Sidem, Terowongan Niyama sebagai salah satu peninggalan bersejarah di masa penjajahan Jepang, lalu ke tengah lautan menuju ke Pantai Pasir Putih Coro, yang juga sedang digarap sebagai jujukan wisata.
Melihat perolehan yang cukup positif itu, Pemkab Tulungagung berupaya keras untuk terus mengembangkan pengelolaan, dan pembenahan beberapa fasilitas yang ada di sana. Drs. Eko Handayanto, MM., Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tulungagung menegaskan, Kabupaten Tulungagung sangat serius dalam membangun wisata Pantai Popoh. “Pantai popoh tak hanya mendukung dari segi panoramanya saja, melainkan juga pada tradisi seni budaya dan aktifitas masyarakatnya,” paparnya.

Mengetahui potensi ini, maka dalam sekejap saja Pantai Popoh terlihat lebih cantik, terbukti dengan adanya pembenahan tempat pelelangan ikan, sarana penginapan, dan sebagainya. “Tidak tanggung-tanggung dalam pengembangan ini kami juga mengajak beberapa staf ahli dari Universitas Brawijaya Malang,” tambahnya.
Tidak hanya getol pada pembenahan di sektor area wisata Pantai Popoh, akses menuju ke sana juga dipersolek hingga layak dilalui bagi para wisatawan. Anggaran hingga ratusan juta pun telah dipersiapkan guna terciptanya fasilitas bagi publik yang memadai. Bahkan di dekat situ, tepatnya di Desa Sidem juga dibangun beberapa tempat hunian bagi warga setempat, dengan tujuan agar lebih aman dari ancaman bahaya bencana tsunami.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...